Oleh:
Ammar Fauzi Heryadi
Di
dunia kita sekarang, kursi listrik sudah lama dikategorikan alat siksa yang
paling tidak manusiawi. Sebelum listrik ditemukan, orang akan sulit
membayangkan manusia terkejang-kejang, teriak secara bertahap dan meronta-ronta
lalu sekarat di atas kursi besi. Tanpa ampun lagi, Amerika dikecam dunia
lantaran negara itu paling banyak memproduksi alat siksa tersebut. Konon dalam
legenda Yunani Kuno, kita temukan padanannya pada ranjang siksa milik
Procrustes, perampok yang beroperasi di antara Magaru dan Athena. Untuk
menghabisi korban, ia menidurkannya di atas ranjang tersebut untuk diukur
sesuai panjangnya. Nah, jika tubuh si korban lebih panjang dari ukuran
ranjang, Procrustes akan memotong bagian kepala atau kakinya. Tapi bila lebih
pendek, ia akan menarik dan menarik tubuhnya sampai seukuran ranjang itu.
Kursi listrik mungkin lebih mendekatkan bayangan kita dengan patung sapi yang
dibuat raja Phalaris untuk menyiksa korbannya dengan memasukkannya ke dalam
perut patung itu lalu membakarnya.
Boleh
jadi ini tidak seberapa dibandingkan buku Serial Killers yang dihimpun
oleh Joyce Robins dan Peter Arnold. Mereka bilang, bahwa inilah cerita nyata
tentang para pembunuh yang paling biadab, hanya untuk membantu kita supaya
lebih mudah membayangkan apa yang dilaporkan. Supaya lebih mudah membayangkan.
Sesudah itu, bisakah kita membayangkan yang lebih biadab? Bisakah kita
secara lebih kejam mendekonstruksi dalam benak kita pemburuan Countess
Elizabeth Bathory atas anak-anak gadis belia, membiarkan tubuh mereka sekarat,
dikerat, dilubangi dan mati membusuk? Setelah kita menyaksikan penyiksaan
Amerika atau Inggris di Guantenamo dan Abu Ghureib, bisakah kita menggubahnya
secara lebih sadis lagi?
Sebaliknya
dalam pembangunan peradaban yang maju, kebanyakan kita mungkin akan mengira
orang jaman dulu akan terperangah setengah napas melihat keserbacanggihan dunia
kita, persis saat para wartawan Olimpiade di Olympia terkagum-kagum menghitung
kekayaan peradaban masa lampau; kadang digambarkan sebagai keajaiban yang
sulit dijabarkan dengan ilmu modern, atau sebagai kehebatan membangun
teknik akustik canggih di arena terbuka. Lalu, bisakah kita membayang lebih wah
lagi dari semua itu? Selaras dengan kata Bertrand Rassell bahwa hasrat manusia
itu tak terbatas, daya bayang dan imajiner kita pun begitu liar bahkan
melampaui hal-hal yang mustahil secara matematis.
Benar
kata Sigmund Frued, daya bayang begitu kuat berperan dalam kerja-kerja
inovatif, menciptakan keunikan dan keluarbiasaan. Daya bayang dan bayangan di
benak ini pula pernah dipetik oleh Allamah Thabathabai dalam memberikan
pendekatan intuitif, pendekatan lewat mata hati mengenai kaitan kita dengan
Tuhan, yakni seerat kaitan kita dan khayalan yang kita bayangkan sendiri.
Seakan ia hendak mendorong kita untuk memutuskan sendiri dengan melibatkan diri
dalam pendekatan itu.
Andaikan
saja! Kita bayangkan di benak kita sosok Bush; kita bisa apakan saja; mau kita
karikaturkan seganjil mungkin, mau kita dewakan segagah mungkin, bahkan kita
bisa pupuskan dari benak kita kapan saja kita mau. Maka, kita punya kekuasaan
penuh atas bayangan yang kita bayangkan. Bayangan Bush itu tidak bisa keluar
dari kendali jiwa dan kekuatan imajiner kita. Di hadapan ikhtiyar kita, ia
tidak punya apa-apa, sama sekali. Ia tidak punya kuasa dan hak memutuskan
sendiri serta berdiri mandiri. Saking tidak ada apa-apanya, ia bahkan tidak
bisa menerima hak dan izin dari kita untuk mandiri.
Barangkali
masing-masing kita tidak pernah membayangkan bahwa bayangan yang kita ciptakan
di benak akan meludah saat kita gubah, akan melotot saat kita jungkirbalikkan.
Sepertinya kita begitu yakin pada pengalaman sepanjang ini, bahwa apapun
khalayan di benak kita selalu patuh dan pasrah mutlak di hadapan kehendak dan
keinginan kita. Bukan keajaiban bila Bush di benak kita laksana adonan di
tangan yang siap menerima segala bentuk.
Coba
kita lepaskan imajinasi kita untuk membayangkan Bush yang ada di benak itu
menggeliat sendiri apalagi bertingkah seperti dia di Irak, membayangkan
Condoleezza Rice sendiri melipstik merah bibir hitamnya sebelum berstrategi di
tengah aula khayalan kita, membayangkan Collin Powell sendiri joget di atas
lantai bayangan kita, tentu akan amat menjengkelkan kita daripada kejengkelan
ketua partai atas ngelamak seorang kadernya. Dalam keadaan ini, kita
bisa mengambil keputusan menindak mereka lebih dari kekejaman terakhir yang
pernah kita bayangkan.
Allamah
Thabathabai hendak mengingatkan kita, bahwa Jika kita sebegitu hebat dan
kuasanya memperlakukan, mendatangkan dan melenyapkan bayangan di benak, dan
jika bayangan di benak ini sebegitu lemah dan bergantungnya pada jiwa kita,
bagaimana besarnya kehebatan dan kekuasaan Allah atas diri kita? Bagaimana
dahsyatnya kelemahan dan ketakapa-apaan wujud kita di hadapan-Nya? Dan
bagaimana ketatnya kelekatan dan kebergantungan hakikat kita pada
Dzat-Nya? Akankah kita mengira-ngira diri kita lebih kurangnya sama
dengan kepapaan bayangan di benak kita, ataukah malah lebih hina dan tidak
berharga lagi? Salahkah bila filsuf kita memaknai wujud kita bukan sekedar
salah satu dari dua sisi hubungan, tetapi hubungan ketergantungan itu sendiri
yang tidak mungkin berdiri mandiri, lepas dan bebas dari kemahakuasaan-Nya?
Dan,
bisakah kita bayangkan apa yang akan dilakukan Allah terhadap gejala protes
yang kita coba tunjukkan? Tidakkah ngelamak-nya kita, kekurangajaran
kita dan kekerdilan kita lebih tolol daripada bayangan kita pada kita sendiri?
Kita yang kalaulah tidak lebih remeh dari bayangan Bush atau Powell di benak
kita ini, ternyata bisa tidak pasrah mutlak dan begitu konyol meludah serta
melotot di atas batas-batas Sang Pemilik Mutlak wujud kita. Apakah
tersisa sedikit hak kita di hadapan keperkasaan-Nya? Sejak kapan kita mulai
bicara hak dan hidup sendiri? Sampai kapan kita bicara tanggung jawab-Nya? Di
sinilah letak keajaiban satu makhluk bernama manusia yang zalim dan bodoh, yang
berbuat di dalam kehadiran Tuhan Yang Akbar. Sebegitu bodohnya hingga terkadang
atau terbiasa kita malah berprasangka buruk pada-Nya, berputus asa dari
rahmat-Nya. Nabi saw. bersabda, “Hati adalah takhta Allah, di hadapan takhta
Allah jangalah bermaksiat!”.
Toh, Allah masih membiarkan kita berumur, memberi kita karunia
yang melimpah dari dunia-Nya, meluangkan kita berbuat sebebas kehendak yang
dianugerahkan-Nya, dan tidak menuntut kita lebih dari sekedar insaf dan
bertaubat. Dalam rasa hancur kita, Dia meminta, “Janganlah berputus asa dari
rahmat Allah”. Dalam rasa puas kita, Dia menyuruh, “Bersyukurlah dan
jangan menyia-nyiakan!”.
Hafiz
Syirazi bergazal:
Kunanti
kelembutan hadirat-Mu,
meski
durjanaku
kan
kuharap ampunan-Mu
Belas
kasih Allah ini barangkali malah membingungkan para malaikat, “Akankah
Engkau angkat mereka sebagai khalifah-Mu di bumi sementara merekalah yang
melakukan pembunuhan dan pengrusakan?!”. Di sinilah letak keajaiban Sang
Khaliq Yang Mahakasih Allah swt. Bagaimana Dia memperlakukan hamba-hamba-Nya,
melebihi hasrat kasih seorang ibu pada timangannya.
Sepertinya,
keterikatan hakikat diri kita pada wujud Tuhan tidak tunduk pada kategori
bayangan. Saking ketat dan dahsyatnya keterikatan kita ini, begitu sulit kita
dekonstruksikan dalam khayalan dan benak kita. Meski demikian, kita bisa
menyaksikannya dengan sangat gamblang. Kebejatan, kehinaan, kebusukan, kekurangajaran
maksiat kita di atas arasy kekuasaan Allah memang bukan bayangan, juga
kemurahan, keramahan, kasih sayang dan kelembutan-Nya membalas semua itu
bukan pula bayangan, tetapi kenyataan yang bisa dihayati dan diresapi.
Dalam
relung penghayatan itu, surga Allah adalah keindahan yang jauh lebih
hebat dari sekedar mengkhayalkan kecanggihan teknik akustik di Olympia
itu, dan neraka Allah adalah siksa yang jauh lebih nista dari kekejaman yang
bisa kita bayangkan di penjara Abu Ghureib sana. Masih dalam relung itu, surga
yang dibukakan benar-benar persembahan, bukan imbalan atas amal baik seorang
hamba, dan neraka yang dijanjikan sungguh balasan yang tidak lebih besar dari
maksiatnya. Bagaimana manusia sesempurna Ali bin Abi Thalib itu meratap, “Ilahi,
janganlah Engkau dudukkan aku di hadapan keadilan-Mu, namun perlakukan aku
dengan kemurahan dan belas kasih-Mu”.
Maka,
ada yang mesti kita luruskan yang di atas tadi, bahwa ada banyak kenyataan yang
tidak tergubah oleh kekuatan khayal dan ke-liaran bayangan kita. Bahwa kita
sungguh bisa melihat keperkasaan, kelembutan dan kasih sayang Allah. Dalam
Munajat Tiga Kata, Ali bin Abi Thalib memanjatkan, “Ilahi, betapa besar
kemuliaan padaku saat aku menjadi hamba untuk-Mu. Ilahi, betapa besar
kebanggaan padaku saat Engkau menjadi Tuhan untukku”.
Sebaliknya,
kita pun bisa melihat ketakapa-apaan, kehinaan dan kekurangajaran kita di
hadapan Allah. Dalam doa Kumail, Ali kembali membacakan untuk kita, “Duhai
Tuanku, begitu banyak keburukan yang kulakukan…dan begitu banyak
sanjungan indah yang bukan milikku namun Kau tebarkan”.
Kalaulah
kita sudah putus asa terhadap penjabaran matematis kaum filsuf atas kenyataan
itu, atau terhadap kiasan puitis kaum arif, sungguh kita masih bisa
melihatnya dari dalam diri kita sendiri, secara lebih tajam. Tidak dengan
imajinasi, tidak dengan akal, tidak pula dengan kata-kata dan pengajaran.
Dengan segenap tingkat keawaman, masing-masing kita menyimpan mata hati yang
sanggup melakukan penghayatan sejernih mungkin. Bersama Imam Khomeini, mari
kita ikrarkan, “Dunia ini adalah aula Tuhan, di dalam aula Tuhan janganlah
bermaksiat!”.[]
0 comments:
Post a Comment